Rabu, 16 Februari 2011

Ulama Ulama Besar Pembela Islam

Syaikh Junaidi Al-Baghdadi Ra.

 Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Syeikh Abul Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah — berkata :
“Semoga Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi peluang kepadamu untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni kewalian-Nya; memilihmu untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu untuk menuju kepada-Nya; menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya; menjadikan perbuatanmu dengan ilmu yang dikehendaki-Nya; mengembalikan dirimu untuk memperhatikan pada kesimpulan pemahaman tentang Diri-Nya; menghalangi antara dirimu dengan berbagai halangan yang memenggal dan rantai yang merintang; menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai di hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau dalam keadaan bersih; mencukupkan dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya; memberi luang kepadamu untuk bakti kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan memasrahkan persoalan kepada-Nya; menghalangi antara dirimu dari setiap pencegah di jalan penempuhan kepada-Nya; dan menjadikan raja penolong pada setiap hasratmu yang membuatmu tidak bahagia dalam Menempuh ridha-Nya di sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah kenikmatan dan yang Mencukupi berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya bagi orang yang berakal (sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat ini:
Tempat dimana seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya, berdisiplinlah pada aturan yang harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan pengetahuannya);
Tempat dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya; bagaimana aturan-aturan bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun disiang hari. Akal tidak bisa jernih manakala tidak mampu kondisi terakhir tersebut, kecuali dengan menepati aturan yang seharusnya dilakukan dari aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani yang pertama.
Sementara tempat-tempat dimana ia harus mengenal kondisi ruhaninya, apakah bertambah atau berkurang, ia harus melakukan khalwat agar tidak direpotkan oleh gangguan kesibukan yang merusak introspeksinya; yang kelak bisa dilanjutkan dengan arah menuju penyelarasan disiplin penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya tidak akan jernih kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu. Kemudian bangkit, sebagaimana bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin melaksanakan perintah-Nya. Maka pada saat demikian, terbukalah baginya rahasia-rahasia dirinya yang tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia termasuk orang yang telah menunaikan kewajiban atau belum, kemudian ia tidak ragu dengan posisinya hingga adanya bukti ilmu yang menyibaknya. Apabila ia melihat adanya cacat, segera memperbaikinya, dan tidak menjalankan amal selain amal itu. Perilaku demikian ini merupakan kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan melalui pertolongan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Perkasa.”
Sedangkan tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam kondisi pengetahuannya, maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan ingin mendapatkan nasihat dalam beramal — maka kadang-kadang berbagai hal itu menipu dirinya — dimana batas sebenarnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang teliti mata hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana, berupa dorongan mencintai perbuatan baik.
Sebab diri itu bila cenderung untuk berbuat baik, akan menjadi etika pada dirinya, dan diri tenteram pada tempat yang menjadi keahliannya, sekaligus ia akan membelot dengannya. Diri melihat yang berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut sebagai kemampuannya, kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk menghancurkannya, mengalir melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu mengancam dengan kekuatan tipu dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia merampasnya melalui kecondongan hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan kecuali melalui kondisi tersebut, bila ia tidak merasakan rampasannya, ia mendorong dari dirinya dan mengenal dirinya untuk lebih bergegas kembali kepada Dzat yang tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya. Kemudian ia meneliti dirinya lebih mendalam seketika dimana musuh bisa meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan kenikmatan bersegera, mencari pertolongan dan rasa butuh yang sangat serta mencari sandaran, sebagaimana Nabi yang mulia, putra Nabi yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Yusuf: 33).
Yusuf as, mengetahui bahwa tipu daya musuh dengan kekuatan hawa nafsu, tidak akan bisa dihindari dengan kekuatan diri.”Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Yusuf: 34).
Adapun tempat-tempat yang menjadi tempat presentasi akalnya untuk memandang tempat berlakunya aturan hukum, dan bagaimana Dia membalik aturan, adalah tempat paling utama dan paling luhur. Sebab Allah swt. memerintahkan seluruh makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah dan tidak bosan-bosan berbakti kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.s. Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba itu mendapatkan jaminan di dunia, sementara di akhirat mendapatkan pahala. Allah swt. berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah, dan sujudlah, serta sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan kebahagiaan.” (Q.s. Al-Hajj: 77).
Semua itu merupakan ibadah yang diharuskan kepada semua makhluk, dan Dia menetapkan agar diketahui bagaimana aturan-aturan itu dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan keluhuran ilmu dan pengetahuan. Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.” (Q.s. Ar-Rahman: 29). Yakni urusan makhluk.
Engkau — wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu melihat bahwa dirimu merupakan makhluk dengan urusannya. Apakah engkau mengetahui perilakumu itu diridhai di sisi-Nya? Tak seorang pun mampu menghadirkan akalnya kecuali dengan memalingkan diri dari dunia dan seisinya (di sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia usai, hangus, dan hangus pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi sunyi dengan bercakap-cakap pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta rincian pembagian. Hati tidak akan kembali, pada suatu yang sifatnya mengambil manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan lari dari dunia.
Tidakkah engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku telah jemu dari dunia.” Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy Tuhanku begitu jelas. Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga, seakan-akan, seakan…” Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab itu, wahai saudaraku, berhasratlah beramal untuk menyelamatkan dirimu, keikhlasan pembebasan diri dari perbudakan nafsu yang hina, dan menyelamatkan diri dari bercakap-cakap pada penghuni dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya kealpaan setetes saja, pasti akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal dan menghanguskan pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa yang membuka tutup bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan menikmati sepoi-sepoi lezatnya beramal.
Sungguh bahagia kaum yang memandang mereka, mengikuti mereka dan menunjukkan mereka jalan yang ringkas. Mendudukkan mereka pada argumentasi yang menyelamatkan, memberi cahaya dakwah mereka untuk memahami yang tersembunyi, melalui diskusi pemahaman perintah, ketika Allah swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu, dan surga yang luasnya seluas langit dan bagi yang disediakan bagi orang-orang yang takwa.” (Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian akal bangkit yang disertai semangat fisik dengan pengarahan yang baik, untuk menegakkan apa yang menjadi bagian mereka di hadapan orang yang peduli pada ajakannya, dan mata menjadi sejuk dan gembira karena apa yang telah disampaikan kepada mereka melalui khalwat. Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak senang menempuh jalan selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya, dan mereka tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah kepada-Nya, pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya. Para musuh putus asa dengan mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan mereka, sedangkan mata cinta menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin meraih apa-apa yang lebih besar dibanding apa yang diraihnya, tidak ingin memperoleh nikmat dibanding apa yang telah dianugerahkan kepada mereka, tidak pula menginginkan daya. Mereka dijernihkan oleh ilmu, dan muamalah (ibadah) telah mendidik mereka, sementara mereka dimuliakan oleh sikap memastikan hanya kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang dicari Allah dan pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Orang-orang berhasrat rindu memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan mereka, dan amat gembira bisa berbicara dengan mereka. Allah menghendaki mereka dan mereka pun menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka pun menemukan-Nya.Maka, barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih ruh kehidupan, dengan mencari hubungan pada anugerah-Nya. Karena sesungguhnya Allah itu adalah harapan para wali, cita-cita para cendekiawan, yang dicari orang-orang Sufi. Kalau bukan karena-Nya, mereka pun tak akan mendapatkan petunjuk menuju kepada-Nya.
Siapa yang — Allah –menyebut mereka, Allah akan menunjukkan kepada-Nya. Petunjuk itu tidak menghimpit hati mereka, dan Allah tidak memberi beban yang tidak kuat untuk dilakukan oleh mereka yang lain, bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak menyingkirkan jiwa-jiwa mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian mereka. Bahkan memberi nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima mereka, memaafkan atas ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka dengan persahabatan yang indah. Memperkuat komitmen mereka dengan tradisi generasi ummat-ummat terdahulu dengan beban yang baik. Membersihkan mereka dari azab yang dahsyat, memberi petunjuk mereka jalan syukur dan ridha di sisi-Nya, mengasihi antara mereka dan para pengamat keserupaan dan problema. Allah menjaga hati, mata dan pendengaran mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan mereka pun menjaga diri dari membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu yang merusak, dan tragedi dunia menjadi sesuatu yang hina di mata mereka. Mereka merasa senang atas pilihan yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka adalah penyucian, tasbih, pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk mereka ada pada ketika mereka bermunajat. Tak ada yang menghalangi mereka ketika Mereka bertemu dengan-Nya di akhirat.
Bahwasanya, makhluk itu terputus dari Allah Azza wa Jalla, karena mereka mengikuti hawa nafsu, patuh pada lawan-lawannya, membincangkan bunga-bunga dunia, memprioritas apa yang menghancurkan dan meninggalkan apa yang mengabadikan.Karena itu bergegaslah saudaraku, untuk memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan dan penyimpangan serta kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan cara bangkit, takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut. Sebab Allah tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana amal yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu dalam pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan. Sebab suatu hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu amal-amal ditampakkan. Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa menolong dengan amalnya, dan tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada pengampunan dan maaf dari Tuhannya. Suatu hari, yang begitu banyak penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat ini, semampang permintaan maaf diterima dan waktu masih luang, amal masih terbentang, tobat masih diterima, dosa bisa dihapus oleh inabah, penyesalan dan kata-kata masih didengar, kebajikan masih diikuti, kebenaran masih jelas, jalan begitu gamblang, dan hujjah masih kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah, seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua. Sedangkan pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta penyelarasan dengan-Nya, melihat diri sendiri dengan mata hina, memutuskan diri untuk menegakkan kewajiban, kasih sayang, persaudaraan, penyucian, saling mencintai, saling menolong, memprioritaskan kepada ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat Allah Azza wa Jalla dibanding diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli kewalian, bergerak menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai sabar atas persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah, teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu. Berpijak pada sikap yang ala kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain, bergaul dan duduk bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang dalam konteks ini, Allah berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi :28)
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian tergolong orang yang mengetahui Hak Allah dan mengamalkannya. Sibuk dengan Hak Allah dan tidak disibukkan oleh faktor yang mengabaikan Hak Allah itu. Semoga Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang perlindungan-Nya kepada kita serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita. Hendaknya engkau benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir. Dia-lah Pelimpah Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan Mengancam mereka dengan neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah dan anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan kita Muhammad dan seluruh keluarganya.
—(ooo)—

Kisah Murid Yang Takabur

Seorang murid Syaikh Junaid merasa telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Lebih baik aku menyendiri,” pikirnya.
Maka ia pun menyendiri di sebuah sudut kamarnya dan duduk di sana selama beberapa waktu. Setiap malam, seekor unta dibawa ke hadapannya dan dikatakan padanya, “Kami akan membawamu ke surga.” Ia pun menunggangi unta itu dan berkendara sampai tiba di sebuah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan, tempat yang dipenuhi oleh orang orang tampan. Di sana berlimpah berbagai jenis makanan dan air yang mengalir. Ia tinggal di sana hingga fajar; kemudian ia akan tertidur dan telah berada di kamarnya ketika terjaga. Ia pun menjadi bangga dan sombong karena hal ini.
“Setiap malam aku dibawa ke surga,” katanya membanggakan diri dihadapan murid-murid yang lainnya.
Kata-katanya ini sampai kepada Syaikh Junaid. Maka Syaikh Junaid pun mendatangi kamar muridnya itu. Di sana Syaikh menemukannya mempraktekan tatakrama yang tinggi.
Syaikh Junaid bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Si murid pun menceritakan keseluruhan cerita kepadanya.
“Malam ini, saat engkau dibawa ke sana, ucapkanlah tiga kali: ‘Laa Haula walaa Quwwata Illa Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim” kata Syaikh Junaid.
Malam itu si murid mengalami apa yang biasanya terjadi. Dalam hatinya, ia tidak mempercayai apa yang telah dikatakan oleh sang syaikh kepadanya. Namun, bagaimanapun juga, saat ia tiba di tempat itu, ia coba coba mengucapkan: “Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.” Seketika, semua yang ada di sana berteriak dan pergi melarikan diri. Ia menemukan dirinya berada di atas gundukan kotoran hewan dengan tulang-tulang berserakan di sekitarnya. Menyadari kesalahannya, ia pun bertobat dan kembali ke majelis Syaikh Junaid.
Ia telah belajar bahwa bagi seorang murid, menyendiri adalah racun yang mematikan.

Kisah Syaikh Junaid Ketika Sakit Matanya

Suatu kali, Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi menderita sakit mata. Beliau Pun memanggil seorang tabib.
Tabib itu berkata, “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu terkena air,”
Namun ketika tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah berwudhu, shalat, kemudian pergi tidur. Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah Suara berkata, ‘Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridhaan Kami. Jika, demi tujuan yang sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan Kami kabulkan’.”
Keesokan harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid telah sembuh. “Apa yang telah engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan.”Aku berwudhu untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.
Seketika itu pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat.”Ini adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk,” komentar tabib tersebut. “Wahai Syaikh matakulah yang sakit, bukan matamu. Engkaulah tabib yang sebenarnya, bukan aku.”

Uluhiyyah

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Al-Haq (Allah swt.) mengasingkan diri bersama mereka, dan sifat Uluhiyah di-tajrid-kan bagi mereka. Maka, awal limpahan pengetahuan Al-Haq datang melalui penyaksian-penyaksian penampakan-Nya, dan turun-Nya kepada mereka pada awal Uluhiyah. Ke-Azalian turun pada keabadian, dan kelanggengan baqa’, sampai pada yang tiada hingga, tiada pangkal. Setelah itu, diikuti dengan sifat Penyaksi yang Menghadang penuh Perkasa; Keangkuhan tiada tara, Tampilnya paksaan, Tingginya Kesombongan, Pemaksa kekuasaan dan Dahsyatnya pelenyapan, Agungnya kebesaran dan Agungnya keperkasaan. Dengan hal demikian, lalu Dia mengasingkan Diri, Maha Besar dan Maha Luhur dengan Keagungan. Al-Haq Tegak, bersama Al-Haq untuk Al-Haq. Al-Haq bersama Al-Haq sebagai Hakim bagi hukum.Dia Esa dalam Kemandirian Perkasa-Nya, Esa, Sendiri dan segalanya bergantung kepada-Nya. inilah awal penyaksian Turun-Nya kepada orang yang dilimpahi Nama ini, dan orang itu ditempati Nama tersebut di hadapan-Nya. Hal itu diiringi dalam penjagaan benteng-Nya dengan-Nya dan bagi-Nya dari Asmaul Husna-Nya, baik yang ditunjukkan atau belum, berupa Asma-asma al-Jam’u mat-Tafriqah sekehendak-Nya ketika dalam penampakan maupun penyembunyian. Diantaranya ada yang jelas dalam pembuktiannya dan gamblang dalam wilayah pencariannya, terlihat sebab akibat arahnya, beristirahat dalam tempat-tempatnya, di sana dan di sini dalam kendaraannya. Lantas sifat-sifat menjadi fana’ dengan melintasnya penghimpunan menurut teknis hakikat, yang kemudian ditutupinya. Di dalamnya tersembunyi, lalu dihilangkan. Padanya terhampar lalu disimpannya. Semula mendiami lalu dibinasakan. Ketika dikalahkan lalu dipaksanya. Lalu keasingan-keasingannya musnah berpisah tanpa sambung; membubung dengan susunan namun tanpa jenis aturan. Lalu meninggi dengan dzahir nya, dan penampakan keruntuhannya melalui pemandirian hukum-hukumnya. Lalu pada saat seperti itulah, bercerai-berai lenyap; kesombongan saling menyombong; keperkasaan saling memerkasakan, lalu pada kala seperti itu, muncullah “mana”-nya “mana”, (ainal ain) padahal “mana” itu tidak menempati waktu (masa).
Lalu ke manakah perginya “mana” menurut kelanggengan Azalinya? Sedangkan mana yang tidak mana bagi-Nya, dan tidak di mana di dalamnya berada dalam Kemandirian Uluhiyah. Itulah sebagian apa yang dihamparkan Al-Haq dengan-Nya dalam Nama Al-Jam’u.Kemudian berlaku kepada mereka sesuatu yang berlaku dalam pandangan, dalam bukti penyaksian yang mempertemukan Al-Haq, kepada siapa pun yang demikian sifatnya atas nama-Nya Yang Sendiri dan ilmu-Nya yang murni. Ini merupakan isyarat yang tidak bisa diulas lebih banyak. Dan tidak memahami jenis isyarat itu kecuali dengan keadaan yang telah kami sebutkan di atas. Banyak yang telah diliputi uraian tersebut, namun aku tidak mampu mengungkapkannya.
Raihlah melalui sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan-Nya, manakala mengetahui Al-Haq dengan pengetahuanmu dan di dalam pemahamanmu.Maka di antara sebagian yang dipertemukan oleh Al-Haq dalam Nama at-Tafriqah adalah: Nama itu ditahan oleh penampakan sesuatu yang dipakai oleh mereka, dan dipakainya untuk menjelaskan apa yang mereka tahan. Mereka dalam laku permukaannya penuh dengan kesaksian-kesaksian yang rahasia terpendam. Manakala diperlihatkan apa yang mereka teliti, tenggelamlah tempat penemuan oleh ketersembunyian rahasiannya. Mereka dalam penyaksian-penyaksian apa yang ditampakkan kepada mereka menurut kebisaaan apa yang diperlihatkan kepada mereka. Lalu mereka melihat pancaran apa yang sedang dilihatnya; yaitu melihat pancaran rahasia yang terjaga, yang mengguncang mereka dalam penampakan apa yang tersembunyi itu. Hal itu terjadi ketika belum diberikannya sifat ini kepada mereka pada tirai yang asing. Lalu ditampakkan bukti kesaksian pencurahan dan pelimpahan rasa kasihan dari perkara yang mendahului. Mereka ditampakkan dengan-Nya ketika mereka diterima oleh-Nya bersama-Nya. Dan pengagungan kedudukan-Nya di sisi mereka, melalui berita-berita adanya penemuan yang terpenuhi, dan pemenuhan pada setiap yang dicintai, dicari dan disenangi, melalui penyempurnaan purnanya kesucian dan manunggalnya anugerah yang beruntun. Lalu mereka dikasihani dalam tempat aman bagi mereka, melalui penyaksian mereka kepada-Nya, yang ghaib dari diri mereka, dan mengambil apa yang diterima mereka, dan mencabut apa yang membuat mereka gembira dari anugerah dan rasa kasihan-Nya, dan mereka dihentikan oleh kehendak agar sampai kepada-Nya, dan pencarian kepada-Nya; berupa kontra-kontra kesaksian yang dahulu.Seandainya engkau melihat mereka dengan mata penyaksian-Nya pada mereka, dan melihat dengan kenyataan apa yang ditempatkan kepada mereka, tentu engkau akan melihat berbagai sandera yang terbelah-belah dan terlenyapkan, serta melihat penyiksaan arwah-arwah luluh lantah.
Mereka dihanyutkan melalui pelenyapan dalam Keperkasaan Malakut-Nya, dan mereka dilenyapkan dengan limpah-ruah cobaan Al-Haq dengan pemusnahan oleh-Nya, dengan sesuatu dimana mereka mendapatkan pertolongan dari-Nya, dan dengan itu Pula kepada-Nya, dalam tekanan-tekanan kegelisahan bencana yang membuat mereka mengaduh. Nafas-nafas mereka dikumpulkan dalam nafas-nafas mereka, dan ruh-ruh mereka ditahan dalam ruh-ruh mereka. Dan dengan begitu mereka ke sana-ke mari, dan dari-Nya, bersama-Nya, kepada-Nya mereka menunggalkan diri.Inilah, sebagian ilmu Tauhid dihamparkan oleh hamba-hamba Kinasih-kinasih-Nya. Selesailah (bab ini), dengan memuji kepada Allah dan dari Allah dan dari Allah pula. ‘Semoga Allah menganugerahkan rahmat-Nya kepada Muhammad dan seluruh keluarganya, dan memberikan keselamatan dengan keselamatan penuh.’

Adab Penempuh Jalan Ruhani

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Pemurah.
Hazrat Maulana Syaikh Abul Oasim al-Junaid — Radhiyallahu anhu — ditanya tentang etika penempuh jalan Allah Azza wa jalla, maka al-Junaid menjawab, “Hendaknya engkau ridha terhadap Allah Azza wa Jalla dalam seluruh tingkah laku ruhani, dan hendaknya engkau tidak meminta kepada siapa pun kecuali kepada Allah Ta’ala.” Beliau juga ditanya tentang intuisi kebaikan, apakah intuisi itu hanya satu atau banyak? Al-Junaid menjawab, “Kadang-kadang bisikan (intuisi) yang mengajak pada kepatuhan itu terdiri dari tiga arah:
1. Bisikan yang dibangkitkan oleh intuisi syetan
2. Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan peringanan beban; dan
3. Bisikan Rabbany yang dibangkitkan oleh intuisi taufik.
Ketiganya sulit dibedakan dalam hal ajakannya untuk patuh. Untuk membedakan harus didasari amaliah yang benar, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa dibukakan pintu kebaikan, maka cepatlah ia meraihnya.” Dan tentunya, kita harus menolak pintu terbuka di luar kebajikan. Sementara intusi syetan itu berdasar firman Allah swt.:”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (O.s. Al-A’raaf: 201).
Sedangkan intuisi syahwat yang merupakan bisikan nafsu, berdasar sabda Rasuluilah saw, “Neraka itu dihiasi oleh kesenangan-kesenangan.” Masing-masing intuisi atau bisikan tersebut memiliki perbedaan spesifik yang bisa dibedakan oleh pihak yang mendapatkannya.
Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan upaya pencarian keringanan beban dan kesenangan; maka dalam konteks ini, syahwat terbagi menjadi:
1. Syahwat Nafsaniyah, Seperti cinta kedudukan dan keluhuran, usaha membalas (dendam) ketika marah, dan merendahkan pihak yang kontra kepadanya, dan sebagainya; serta
2. Syahwat jasmaniyah, seperti makan, minum, kawin, berpakaian, bersih, dan sebagainya.
Bagi nafsu, ada upaya kebutuhan pada obyek-obyek kenikmatan ini menurut jangkauan masing-masing dan tekanannya yang kuat kepada masing-masing ragam dari nafsu tersebut.
Bagi orang yang mendapatkan bisikan nafsu ada dua tanda yang berdiri pada posisi seorang saksi yang adil dalam membedakan bisikan yang ditentukan:
Pertama, bisikan itu datang di saat ada kebutuhan mendesak pada unsur-unsur yang serupa tersebut, seperti munculnya keinginan kawin ketika hal-hal yang disenangi sangat mendesak, namun kebutuhan itu dijumbuhkan, bahwa tujuan kawin itu mengamalkan perintah Nabi saw, “Nikahlah kalian, agar kalian menurunkan keturunan. Sebab aku akan berlomba-lomba memperbanyak ummat lewat kalian di hari Kiamat.” Juga seakan-akan didasari oleh sabda Nabi saw, “Tak ada kependetaan di dalam Islam,” hal yang sama juga dalam soal makan di saat lapar. Lalu kadang-kadang dijumbuhkan dengan ajakan pada dirimu untuk meninggalkan puasa atau mendapatkan hal-hal yang menyenangkan, dengan alasan tersebut. Misalnya engkau mengatakan, bahwa puasa yang terus-menerus itu bisa melemahkan keinginan untuk taat; dan bahwa meninggalkan makanan yang enak ini, bisa melukai teman Muslim yang mengundangnya; atau bisa melukai perasaan keluarga manakala makanan itu memang sangat diminati oleh keluarganya.
Tetapi kadang-kadang ada godaan yang mengkhianatimu dengan warna lain, misalnya ada bisikan yang mengatakan kepadamu, “Jauhilah nafsu dengan meraih hal-hal yang tidak menyenangkan, agar bisikan nafsu itu tidak masuk kepadamu, yang bisa merusak ibadahmu,” dan sebagainya yang serupa. Semua ini merupakan godaan dan penyimpangan bisikan tersebut.
Semisal dengannya, ketika ada rasa berat dan enggan untuk beribadah, lalu bisikan itu datang dengan menggunakan alasan hadis bahwa Nabi saw. melarang “tidak nikah”, melarang pemaksaan diri, seperti sabdanya, “Lakukanlah amalmu semampumu,” dan sabdanya lagi, “Pohon yang ditumbuhkan, tidak pada bumi yang gersang, juga tidak pada tanah yang kasar.” Bahkan memperbanyak ibadah yang mendorong keletihanmu, syahwatnya mencegah untuk menjurus pada rusaknya ibadah atau mencegah untuk berpaling dari ibadah. Lantas membawamu pada bunuh diri atau penjara dan sepadannya, karena adanya khayalan atas dua kondisi tesebut, yang menjanjikan kesenangan dan hilangnya beban.
Salah satu dari dua bukti dari bab ini, diawali dengan kejenuhan dan kepayahan, ketika muncul keinginan untuk lepas beban, dan diawali dengan sesuatu yang menyenangkan yang dimunculkan oleh intuisi syahwat. Karena itu harus direnungkan perihal dua kondisi tersebut. Apabila telah didahului oleh dua motivasi tersebut, berarti itu bisikan nafsu. Kebutuhan nafsu adalah faktor yang mengajak dan menggerakkannya. Kesimpulannya bahwa bisikan tersebut bersifat syahwat atau keinginan pada hal yang menyenangkan. Maka pada galibnya bisikan seperti itu pasti dari nafsu. Sedangkan saksi kedua adalah desakan bisikan ini dan tidak adanya pemutusan terhadap bisikan tersebut, hingga datangnya semacam kemampuan sepanjang engkau menolak dan berjuang melawan nafsumu, yang mendesak dan mengeraskan kepalamu, lalu muncul desakan bahwa memohon perlindungan, rasa takut, waspada dan rasa suka itu tidak ada gunanya. Bahkan yang muncul adalah dorongan yang mendesak terus-menerus. Yang demikian ini merupakan bukti-bukti yang gamblang, bahwa desakan demikian dari nafsu. Sebab nafsu itu seperti anak-anak, ketika anak-anak di larang malah tampak keras kepalanya.Dua kondisi seperti itu merupakan bukti yang adil, manakala bertemu, tidak bisa diragukan sebagai bisikan nafsu. Terapinya untuk menanggulangi masalah ini adalah kontra secara radikal dan upaya yang penuh. Engkau harus mencegah keinginan bebas beban di saat muncul pembangkit bisikan kepayahan dan kelelahan ibadah, atau posisi yang memberatkan, agar bisa mencegah gerakan intuitif seperti itu. Apabila bisikan itu bersifat emosi syahwat, terapinya melalui tindak preventif terhadap faktor yang memburunya, atau engkau menolak dari kesenangan lain agar lebih kuat tindak pencegahannya.
Sedangkan intuisi syetan ditandai dengan dua hal pula:
Pertama, dengan munculnya sebagian apa yang dibutuhkan nafsu melalui ajakan syahwat atau ajakan bebas beban dalam waktu-waktu yang diinginkan sebagai tuntutan nafsu. Perbedaan antara intuisi syetan dan intuisi nafsu, bahwa intuisi syetan itu sangat mendesak. Kedua, intuisi syetan itu dimulai dan ditimpakan pada akalnya, sementara intuisi nafsu berkaitan dan menggerakkan wataknya seperti syahwat dan rasa senang. Oleh sebab itu was-was syetan berjalan menuruti alur pembicaraan manusia dengan dirinya. Hanya saja perbedaan di sana-sini tidak terlihat jelas.
Manusia menggerakkan hatimu dari arah indera pendengaran di saat berbicara; atau mendengar dan melihat ketika menunjukkan (mengisyaratkan); serta merasakan ketika meraba; sementara syetan mengganggu melalui was-was dan perabaan hati serta membisik dalam hati. Syetan tidak tahu yang ghaib, namun ia datang kepada nafsu dari sisi akhlak yang direkayasa untuk dilakukannya. Inilah perbedaan antara intuisi nafsu dengan intuisi syetan.
Adapun intuisi Rabbany, ditunjukkan melalui dua bukti.
Pertama, muncul berselaras dengan syariat bagi pelakunya, dan ada bukti-bukti kebenarannya. Kedua, tidak diawali hasrat nafsu ketika menerima intuisi tersebut, justru muncul ragam keleluasaan. Intuisi tersebut merobohkan nafsu, tanpa adanya permulaan seperti pada intuisi syetan. Hanya saja kecepatan nafsu berselaras dengan intuisi syetan, lebih banyak, lebih gamblang, dan lebih membuatnya malas. Karena syetan itu tiba dari sisi syahwat dan kesenangannya. Sedangkan intuisi Rabbany datang dari segi beban dan tugas. Nafsu menolak kedatangan tugas dari intuisi Rabbany. Inilah perbedaan antara intuisi Rabbany, intuisi nafsu dan intuisi syaithany. Apabila engkau kedatangan bisikan atau intuisi, maka timbanglah dengan tiga kriteria di atas, buktikan dengan bukti-bukti yang kami tunjukkan, sehingga engkau bisa membedakan berbagai intuisi.
Jadikanlah intuisi syetan dan nafsu — sebagaimana kami sebutkan untukmu — untuk ditolak, lalu bergegaslah dengan intuisi Rabbany. Jangan engkau abaikan intuisi Rabbany itu, sebab waktu itu sempit dan kondisi ruhani itu bisa berubah. Engkau harus waspada dengan buaian nafsu dan was-was syetan. Sebab pintu ini termasuk pintu kebajikan yang dibukakan untukmu, maka raihlah hingga engkau bisa memulai dari awalnya.
Misalnya, muncul bisikan kepada orang yang dianjurkan berpuasa pada sebagian bulan atau qiyamullail, lalu bisikan itu datang, “Sudahlah, nanti saja kalau malam sudah habis,” atau kata-kata, “Nanti saja kalau bulan akan habis,” padahal bisikan seperti itu adalah rekayasa bagi pemilik pintu taufik.
Bisikan-bisikan seperti itu tidak abadi, namun cepat berubah. Sedangkan bergegas untuk berpegang erat pada intuisi Rabbany, sangat dianjurkan syariat. Ada dua manfaat di dalamnya:
Pertama, bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna, seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah Allah Azza wa Jalla, dan turunnya rahmat serta ampunan. Sementara pandangan-pandangan Allah swt. kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
Kedua, semangat untuk menjalankan perintah-perintah dan taat ketika muncul berkah dibalik amal. Di sinilah rasa malas menjadi sirna, karena berhadapan dengan hembusan-hembusan Rahmat Allah Ta’ala. Demikian pula sekaligus menjadi manfaat olah jiwa (riyadhah nafsu) untuk segera melaksanakan perintah-perintah. Wallahu A’lam wa Ahkam.Demikian akhir dari ucapan Abul Qosim al-junaid — semoga Allah menyucikan ruhnya dan mencerahkan kuburnya. Dan segala puji hanya bagi Allah Tuhan sementa alam, serta shalawat dan salam semoga terlimpah pada junjungan kita Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya semuanya, dengan salam sejahtera yang melimpah ruah.
Alfatihah

Kondisi Para Wali Allah

Wejangan Spiritual Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi Aku bertanya, “Betapa menakjubkan berita yang engkau berikan kepadaku, betapa kalangan yang dinisbatkan dengan sifat yang luhur itu berlaku aturan? Bagaimana itu terjadi, sampai aku mengetahuinya?”
Ia menjawab, “Pahamilah, Ketika mereka mencari-Nya dalam kehendak-Nya, dan diri mereka terhalang, lantas mereka mencari-Nya dalam pelimpahan-Nya tehadap mereka, pada harapan bencana yang ada pada sifat-sifat mereka. Karena kelezatannya ada pada mereka, dimana mereka menutupi mereka agar melaksanakan dengan kejatiandirinya dan berkerja dengan indra mereka serta menikmati kelezatan dengan diri mereka dalam tempat-tempat kebanggaan, hasil-hasil dzikir dan pelimpahan paksa.
Bagaimana engkau mengetahui hal itu, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali ahlinya, tidak bisa menemukan selain mereka dan tidak ada yang kuat selain mereka pula. Bagaimana engkau tahu, kenapa mereka mencari-Nya namun juga menghalangi-Nya, lantas mereka berperantara dengan sesuatu dari-Nya sebagai keharusan kepada-Nya, dan mereka pun memohon pertolongan dalam keperantaraan itu melalui hakikat-hakikat yang ada pada-Nya? Karena sebenarnya Dia telah mempertemukan mereka dengan Wujud-nya untuk mereka. Lalu Dia menetapkan ghaibnya rahasia-rahasia-Nya dalam diri mereka dan kepada mereka, yang sampai kepada-Nya. Maka terhapuslah makhluk-makhluk dan terputuslah berbagai kebutuhan, sehingga hubungan menjadi melimpah, derajat menjadi luhur, melalui kesirnan indra dan kefana’an diri.
Kemudian mereka dihadirkan oleh fana’ dalam kefana’an mereka, dan mereka dipersaksikan Wujud dalam wujud mereka. Sesuatu yang menghadirkan dan mempersaksikan mereka dari diri mereka, adalah tirai yang samar dan hijad yang lembut, dimana mereka menemukan tirai pada sekat kesirnaan dan kepayahan yang berat, untuk menutupi segala yang tidak selaras, berupa sebab-sebab langsung, dengan menghadirkan berbagai sebab yang layak, dan layak pula sifatnya bagi makhluk. Maka mereka pun mencari sesuatu itu di tempat-tempat pencarian mereka, namun mereka tidak mengetahuinya dari dalam diri mereka. Karena mereka menempati tempat kekuatan, dan mereka meraih hakikat-hakikat kehormatan, maka pada mereka ditempatkan sesuatu yang menyibukkan mereka. Maka muncullah sepenuhnya yang ada dan yang tidak ada pada sifat. Walaupun sikat cobaan bertambah.”
Aku meminta, “Uraikan ragam cobaan mereka kepadaku di tempai-tempat mereka yang menakjubkan dan kedudukan mereka yang dekat!”
Ia menjawab, “Mereka merasa sudah cukup dengan apa yang ada, lalu mereka keluar dari segala hajat kebutuhan, meninggalkan telaah, menggunakan kemenangan dengan mengerahkan kemampuan, dan dengan sergapan kebanggaan. Dengan begitu mereka memandang kepada segala sesuatu melalui apa yang ada pada mereka, tanpa menaiki tahap yang ada pada-Nya, sehingga mereka menegakkan keterpisahan dan keterputusan. Maka ketika mereka melihat dan menemukan dengan dua matanya, dan terlimpahi dua perkara, tiba-tiba tampak lembah AI-Haq di hadapan mereka, yang datang dari-Nya untuk mereka, berupa sesuatu yang diperuntukkan bagi mereka, untuk berkonsentrasi kepada-Nya sepenuh kemampuannya. Maka keluarlah mereka dari hal tersebut tanpa ada keraguan kepada-Nya, memprioritaskan terhadap kemandirian sukacita mereka, yang menunjukkan kepada-Nya dan meyakinkan dengan penuh kelapangan dada. Mereka tidak ingin kembali atas apa yang ada pada diri mereka dan tidak ingin pula mencari tempat yang menuju kepada mereka. Bila keadaannya demikian, mereka diliputi oleh cobaan, sementara mereka tidak tahu.”
Aku berkata, “Engkau telah membuat aneh akalku dan menambah ketololanku. Karena itu dekatkan pada pemahamanku.”
Ia menjawab, “Para pemilik cobaan (ahlul bala’) ketika sedang bertemu dengan Sang Pembicara Yang Benar pada diri mareka, dan hikmah-hikmah-Nya berlaku pada mereka, maka rahasia-rahasia mereka jadi asing, arwah-arwah mereka lebur sepanjang umur, hingga tidak menghinggapi wilayah-wilayah dan tidak pula menenterami. Ia menjadi mesra dengan Sang Pengujinya, dan manja dengan kefana’an pemanja yang lunglai. Ia benar-benar digelisahkan oleh kesirnaannya, sedang kehinaannya adalah kerinduannya, dimana ia didahagakan dan dilaparkan di hadapan-Nya, digelorakan rindu kepada-Nya, yang diikuti oleh dahaga demi dahaga akan bertumbuhan. Ia di paksa oleh ma’rifatnya, dan tergilas oleh kesirnaannya. Kedahagaan kepada-Nya agar terus menuju paripurna, sementara setiap tutup yang terbuka adalah ilmu baginya, yang dirasakan melalui rasa fakir, yang dibaharui dengan memandang kemungkinan jerih payah, yang dibebani oleh pengaruh bahan makanan (jiwa), rindunya sampai membelah gelisahnya, yang senantiasa mecari obatnya.
Ia senantiasa menggantungkan jejak-jejak Sang Kekasih: segala yang jauh di mata, amatlah dekat. Ia ditirai dengan persembunyian karena sirna tirainya yang harus dipakai di hadapan-Nya. Ia merasa lapang dada dengan kemusnahannya melalui cobaan yang ditimpakan kepadanya. Ia sudah tak peduli dengan dirinya sendiri, cukup dengan cintanya, dan ketergantungan dalam tempat taqarrubya. Ia melihat batas-batas kejapan-kejapan dalam kecepatan bangunnya. Kebinasaannya tenggelam, lalu mengalir pada dirinya dalam kelanggengan abadi, dan pemedihan cobaan, bahkan sampai cobaan itu sendiri lekat nikmat dengannya, dan merasa masra dengan cobaan itu demi keabadiannya. Ketika ia melihat-Nya begitu dekat, ia mencegah dirinya dengan mendatangi sengantanya. Ia tak pernah merasa lelah memikulnya, tidak diletihkan oleh kebosanannya. Mereka adalah orang-orang gagah dalam menghadapi cobaan, karena adanya kegembiraan bagi mereka. Mereka berdiri dalam keperkasaan-Nya, menunggu perintah-Nya, agar Allah melakukan suatu perintah untuk dilaksanakan.
Kalangan ahlul bala’ ini terbagi menjadi dua golongan: Di antara mereka ada yang menyenangi pada cobaan-Nya, maka lalu ia tenteram pada kehendak-Nya, ia tak memedulikan kesenangan untuk memuaskan dirinya terhadap segala sesuatu. Kesenangannya dengan wujud rasanya, hingga ia terkalahkan dan termakar dengannya, yang membuatnya cerai-berai. Namun ia bersiap diri untuk menyambut cobaan-Nya sebagai kehormatan, dan ia memandang bahwa penyebab keluar dari cobaan adalah faktor yang menyebabkan kekurangan dan kelemahan ..

Ulama Ulama Besar Pembela Islam




 KH. WAHAB CHABULLAH

 
Pendidikan: Pesantren Langitan Tuban; Pesantren Mojosari, Nganjuk; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Bangkalan, Madura; Pesantren Tebuireng, Jombang; Makkah Mukkaramah.

Pendiri Tashwirul Afkar, Nahdatul Wathan, Syubbanul Wathan,  Nahdlatul Ulama, dan SI Cabang Makkah
Pemrakarsa : Komite Hijaz;
Pengabdian : Rois’ Am PB Syuriyah NU.

  • Klik disini

  • untuk melihat album kenangan

    Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Abdul Wahab Chasbullah, tokoh sentral pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Untuk lebih mendekati kebenaran, kita harus pinjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyebut kyai Wahab sebagai “kyai merdeka”. Dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling. Bukan “pak turut”, kata almarhum Kyai Haji Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan berpakaian beliau tidak menjiplak orang lain.

    Di zaman revolusi, baju kesayangannya adalah potongan safari lengan panjang berwarna khaki dengan kemeja putih yang lehernya dikeluarkan, persis tokoh-tokoh muda zaman sekarang. Tetapi ini yang penting, tetap mengenakan sarung dan serban. Pakaian semacam itu dikenakan pada waktu berada di parlemen, Istana Presiden atau di front pertemuan. Pendirian politiknya maupun pendirian hukum agamanya dikemukakan tanpa ragu-ragu, jelas dan terbuka. Tidak gentar menghadapi reaksi dari mana pun. Jika menurut keyakinannya sesuai dengan hukum Islam, dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.

    Profil kyai amat berpengaruh ini seolah memberikan penegasan bahwa:
    Pertama, Kyai Wahab adalah ulama pesantren tulen dengan ciri khas mengenakan kain sarung dan serban. Kemana saja pergi, beliau selalu mengenakan kedua pakaian itu, hatta ketika berada di medan perang sekalipun. Mengenai serban ini, menurut penuturan KH. Saifuddin Zuhri, ada anekdot menarik.

    Suatu ketika, Kyai Wahab berbicara dalam sidang parlemen. Sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada mulut usil nyeletuk, “Tanpa serban kenapa sih?” Sambil menunjuk serbannya, Kyai Wahab kontan menjawab, “Serban Diponegoro!” Ketika berdiri di podium sang kyai, sambil menunjuk serbannya berkata, “Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai serban.” Karuan saja ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen;

    Kedua, Kyai Wahab adalah seorang intelektual yang salah satu cirinya adalah berjiwa bebas, berpikir merdeka dan tidak mudah terpengaruh lingkungan; dan
    Ketiga, Kyai Wahab adalah seorang politisi kawakan yang dekat dengan presiden. Disamping, tentu saja sebagai seorang pejuang, karena beliau berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang.

    Intelektualitas dan Joke

    Pengembaraan intelektual Kyai Wahab mempunyai benang merah yang jelas dan bisa ditelusuri melalui berbagai aktivitas beliau sepanjang hidupnya. Dimulai dengan mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, sampai memberikan inspirasi dan sekaligus membidani lahirnya Nahdlatul Ulama.

    Yang dirintis oleh Kyai Wahab sekitar tahun 1920 dengan mengadakan kontak dan kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Studie Club adalah cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kyai Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas dan memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kyai Wahab adalah jagonya.

    Ketika terjadi perdebatan di kalangan tokoh Masyumi mengenai ikut atau tidaknya dalam Kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kyai Wahab tampil memecahkan persoalan disertai joke-joke jitu. Kyai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul itu setelah melalui perdebatan seru.

    Kyai Haji Raden Hajid tokoh Muhammadiyah, menanyakan kepada Kyai Wahab, “Setiap calon menteri yang akan duduk dalam kabinet tersebut harus mempunyai niat bagaimana?”. Dijawab Kyai Wahab, “Niatnya I’zalul munkarat (melenyapkan yang mungkar).” “Kalau begitu, niatnya harus dilafalkan,” usul Kyai Hajid. Dengan spontan Kyai Wahab menimpali, “Mana dalil al-Qur’an dan haditsnya mengenai talaffuzh bin niyyat (melafalkan niat)?” Serentak hadirin tertawa riuh. Sebagaiman diketahui kedua tokoh ini mewakili dua organisasi yang berbeda pendapat dalam harus atau tidaknya mengucapkan lafal niat (ushalli) dalam shalat; pengikut NU selalu melafalkan niat, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lha kok dalam masalah Renville ini menjadi terbalik, jadi lucu terdengarnya.

    Kecil tetapi Gagah

    Kyai Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon Kyai ini sulit untuk marah dan dendam karena sifat dan penampilannya yang humoris. “Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah,” kata Kyai Haji Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya dilukiskan oleh Kyai Saifuddin Zuhri bahwa Kyai Wahab adalah ulama dengan pengetahuan yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona. Kyai Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise” karena tindak tanduk dan tutur katanya orisinal, keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tidak pernah beliau merasa canggung berbicara di muka ribuan manusia sekalipun dengan dilakukan mendadak, tetapi juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni cuma sedikit orang.

    Kecerdasan otaknya dilengkapi dengan retorika yang baik, menjadikan setiap uraiannya terdengar menarik. Topik pembicaraannya bisa dari masalah bela diri pencak sampai bom atom, dari onderdil mobil sampai masalah aparatur negara, dari masalah kasidah dan perwayangan hingga masalah land reform dan sosialisme.

    Bagi warga NU, Kyai Wahab tidak sekadar bapak dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, melainkan sebagai simbol dalam banyak hal, dari tradisi intelektual di kalangan ulama pesantren sampai lambang pemersatu. Diceritakan bahwa Kyai Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan hartanya dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut Kyai Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan orang sampai menjadi partai politik dan jam’iyah Islam terbesar di Indonesia.

    Lahir dan Besar di Pesantren

    Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari Jombang, yaitu Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan Kyai Abdussalam. Konon jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.
    Sepeninggal isteri pertamanya di Mekkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, Kyai Wahab memperisteri Alawiyah, puteri Kyai Alwi. Setelah memperoleh seorang anak, isteri keduanya ini pun meninggal. Sesudah itu Kyai Wahab pernah tiga kali menikah, tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak. Kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri Kyai Said, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya Kyai Nadjib (almarhum) yang melanjutkan mengasuh Pesantren Tambakberas.

    Setelah Asnah meninggal, Kyai Wahab menikah dengan Fatimah, anak Haji Burhan dan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri, diantaranya Kyai Haji A. Sjaichu. Setelah itu Kyai Wahab pernah kawin dengan Masmah, memperoleh seorang anak. Kawin dengan Ashikhah, anak Kyai Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir Kyai Wahab memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada 1971 dan memperoleh lima orang anak.

    Seperti kebanyakan pola hidup yang diterapkan dipesantren, Kyai Wahab juga menganut pola hidup sederhana, meskipun dia tidak bisa digolongkan sebagai tidak berkecukupan. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, Wahab berdagang apa saja asal halal. Diantaranya pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Kebanyakan dari bidang usahanya itu dipercayakan kepada orang lain dengan cara bagi hasil.

    Bekal utama bagi pendidikan Wahab kecil yang diberikan sendiri oleh ayahnya adalah pelajaran agama dan membaca al-Qur’an serta tasawuf. Baru sesudah dipandang cukup, Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Tuban; Mojosari, Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh; Pesantren Cepoko; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, dan langsung berguru kepada Kyai Cholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Cholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Di berbagai pesantren inilah kehidupan Wahab ditempa dan dia mempelajari banyak kitab penting keagamaan sampai mahir betul.

    Pada usia 27 tahun Kyai Wahab meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Di kota suci itu dia bertemu dan kemudian berguru dengan Ulama-Ulama terkenal diantaranya Kyai Machfudz Termias, Kyai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asya’ri Bawean, Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kyai Wahab. Melihat riwayat pendidikannya tersebut, tidak heran jika di kalangan Ulama dan para pejuang sebayanya waktu itu Kyai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.

    Sebagai Pemikir-Pejuang

    Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kyai Wahab Chasbullah sesungguhnya sudah mulai tampak di pesantren. Di sela-sela kegiatan belajar, Wahab memimpin kelompok belajar dan diskusi santri secara rutin. Dalam kelompok itu dibahas masalah sosial kemasyarakatan, di samping pelajaran agama. Tidak heran jika sepulang dari berbagai pesantren, Kyai Wahab sama sekali tidak canggung terjun ke masyarakat, mempraktikkan apa yang sudah dipelajari.

    Melihat kenyataan sosial yang waktu itu sedang dalam tekanan penjajah Belanda dengan berbagai akibatnya, Kyai Wahab berpikir keras bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang progresif untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah kemudian Kyai Wahab melakukan kontak dengan teman-teman belajarnya, baik sewaktu di pesantren maupun ketika menuntut ilmu di Tanah Suci untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya bersama Kyai Mas Mansur kawan mengaji di Mekkah, dia membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

    Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa. Tampaknya kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsa kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab masih bersama Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai M. Bisri Syansuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum dan Kyai Cholil Lasem. Di kalangan pemudanya disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang di dalamnya, antara lain ada nama Abdullah Ubaid. Dalam kelompok inilah Kyai Wahab mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme.

    Sayang sekali hanya karena perbedaan khilafiyah saja duet Wahab-Mas Mansur harus retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan berbicara lain. Perbedaan pandangan dengan Mas Mansur tidak menjadikan Wahab mundur dari penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Achmad Syurkati di Surabaya misalnya, Kyai Wahab tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Wahab sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya. Dan ketika kaum terpelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kyai Wahab tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan forum tersebut. Dalam forum inilah Kyai Wahab berkawan akrab dengan Dr. Soetomo dan lain-lain.

    Tidak bisa disangkal lagi bahwa melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal seperti ini menimbulkan dampak makin bergelora semangat cinta tanah air di kalangan pemuda. Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gesekan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang tajam di kalangan mereka, meskipun tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita memerdekakan Indonesia. Kyai Haji Mas Mansur misalnya’ harus kembali ke organisasinya, Muhammadiyah dan Kyai Wahab terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.

    Kristalisasi di kalangan organisasi tersebut makin keras bersamaan dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia yang kemudian ditarik garis lurusnya yang bermuara pada masalah perselisihan paham keagamaan. Yaitu terjadinya perselisihan antara paham Islam bermazhab dan tidak bermazhab.

    Menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perselisihan ini pada mulanya tokoh-tokoh seperti Kyai Wahab, HOS. Cokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim dan Kyai Mas Mansur sendiri masih menampung seluruh aspirasi umat dengan cara sebaik-baiknya. Akan tetapi, ketika menentukan siapa yang harus berangkat ke Kongres Khilafat di Timur Tengah, situasi makin meruncing. Buntut dari diabaikannya keterlibatan ulama pesantren dalam Kongres Khilafat itu, muncullah kelompok yang di kemudian hari terkenal dengan Komite Hijaz. Komite ini mengirimkan delegasi ke Mekkah, terdiri atas Kyai Wahab dan Syaikh Ghanaim, yang akhirnya berhasil menggolkan misinya di hadapan Raja Saud.

    Perjuangan Politik

    Akhirnya sampailah pada saat yang amat bersejarah, yaitu ketika pada 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, diantaranya Kyai Wahab, Kyai M. Bisri Syansuri, Kyai Ridwan Semarang, Kyai Haji Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Nachrowi Malang dan Kyai Alwi Abdul Aziz Surabaya, berembuk dan menyimpulkan dua hal pokok:

    Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Saud agar hukum-hukum menurut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya; dan

    Kedua, membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab tersebut.

    Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh Kyai Haji Alwi Abdul Aziz Surabaya. Ketika penyusunan kepengurusan, Kyai Wahab konon tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dan merasa cukup dengan jabatan Katib ‘Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada Kyai Haji Hasyim Asy’ari Jombang, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.

    Demikianlah, Nahdlatul Ulama telah lahir. Dalam waktu yang relatif singkat 10 tahun, organisasi yang semula hanya berlingkup lokal Surabaya ini bisa melebarkan sayapnya dan diterima oleh kalangan ulama di seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Ini semua berkat kegigihan para ulama menyebarkan ide-ide keagamaan dan kemasyarakatannya, terutama melalui jaringan pesantren. Lima tahun kemudian kiprah Nahdlatul Ulama tidak hanya terbatas pada masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara tradisional, tetapi sudah mulai mengadopsi model pendidikan Barat dengan mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, mendirikan koperasi dan menggalang ekonomi rakyat pedesaan di bidang pertanian, nelayan dan usaha kecil. Di bidang politik NU memunculkan tokoh-tokoh muda yang berpikiran modern, seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai Masykur, Zainul Arifin, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri. Pada masa pasca proklamasi andil Kyai Wahab baik dalam kancah politik nasional maupun pengembangan organisasi NU sangat menonjol. Pada awal kemerdekaan, Kyai Wahab bersama kaum pergerakan lainnya seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, kemudian berkali-kali duduk dalam kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Akan tetapi peran paling menonjol dari Kyai Wahab dalam hal ini adalah sebagai negosiator antara kepentingan NU dan pihak pemerintah. Tidak heran dengan fungsinya itu Kyai Wahab sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya. Dalam intern NU sendiri puncak karier Kyai Wahab adalah ketika bersama-sama tokoh muda lainnya seperti Kyai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik bersaing dengan partai lainnya yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik Indonesia dan diterima secara bulat dalam Muktamar NU tahun 1952.

    Pada waktu itu situasi hubungan antara NU dan Masyumi dan juga tokoh- tokohnya amat tegang. Meskipun Dr. Sukiman sendiri menyaksikan peristiwa keluarnya NU dari Masyumi, hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi tersebut. Situasi ragu dan tegang juga menghantui pengikut dan pimpinan NU yang semula duduk dan aktif dalam Masyumi. Dalam situasi seperti itu, Kyai Wahab tampil dengan sikap khasnya, yaitu tegas dan berwibawa.

    Katanya, “Siapa yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri partai ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan Tuan-tuan silahkan lihat apa yang akan saya lakukan!”

    Beberapa tahun kemudian, dalam Pemilu 1955 NU keluar sebagai salah satu partai terbesar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang Kyai Wahab bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam membesarkan NU, akan tetapi peranan Wahab amat menonjol. Dalam hal ini yang lebih menarik untuk dilihat adalah konsistensi Kyai Wahab dalam merealisasikan gagasan sejak dia merintis munculnya tradisi keilmuan melalui kelompok diskusi, penggalangan solidaritas antara sesama kaum agama dan antara kaum agama dengan tokoh-tokoh nasionalis, Sampai penggalangan Ulama pesantren dalam mendirikan NU.

    Kyai Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang baik dalam kancah pergolakan dan turun naiknya politik Islam, mulai dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam tersebut. Di sini Kyai Wahab terlibat dalam pergumulan dengan tokoh- tokoh terkemuka, seperti Kyai Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.

    Tradisi Jurnalistik di NU

    Bukan Kyai Wahab jika tidak memutar otak, selalu “gelisah” mencari cara mewujudkan cita-citanya. Bersama tokoh NU lainnya, Kyai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian dia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikiran Wahab yang sesungguhnya amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.

    Mulai saat itu diterbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin oleh Kyai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kyai Mahfudz Siddiq dan menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Disamping itu terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Lalu Terompet Ansor dipimpin oleh Tamyiz Khudlory; dan majalah berbahasa Jawa Penggugah, dipimpin oleh Kyai Raden Iskandar yang kemudian digantikan oleh Saifuddin Zuhri. Dari tradisi kepenulisan ini NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.

    Tidak salah lagi, Kyai Wahab adalah pemegang andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah organisasi NU, jurnalistik, sampai siasat bertempur di medan laga. Dalam hal yang terakhir ini ucapannya yang paling populer adalah, “Kalau kita mau keras harus punya keris.” Keris dalam hal ini diibaratkan Kyai Wahab sebagai suatu kekuatan, kekuatan politik, militer dan batin. Itulah sebabnya Kyai Wahab juga gigih dan terjun sendiri bersama pasukan Hizbullah (di bawah pimpinan Kyai Haji Zainal Arifin), pasukan Sabilillah (di bawah pimpinan Kyai Haji Masykur) dan Barisan Kyai (yang dipimpin sendiri) dalam berperang melawan penjajah.

    Kyai Wahab juga dikenal jago bersilat dan ber-”wirid”. Konon di mana- mana Kyai Wahab menyebar ijazah, macam-macam Hizb, doa dan wirid kepada seluruh warga NU dan siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Beliau ternyata bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena “wirid”-nya.

    Ulama Tiga Zaman

    Demikianlah Kyai Wahab Chasbullah, ulama yang diberkati Tuhan memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, (1) zaman pergerakan kemerdekaan; (2) sesudah proklamasi kemerdekaan; dan (3) masa Orde Baru. Kiai ini pernah merasakan pahit getirnya hidup, dan banyak teladan yang ditinggalkan bagi generasi sesudahnya. Dalam masa kepemimpinannya dia juga tidak lepas dari ejekan, fitnah dan hinaan disamping tentu saja sanjungan dan hormat. Pada zaman Orde Lama misalnya, banyak orang mengejek Kyai Wahab sebagai “Kyai Nasakom” atau “Kyai Orla” lantaran NU menerima konsep Nasakom dan dekat dengan Bung Karno. Padahal kata Kyai Saifuddin Zuhri, semua orang dan semua organisasi waktu itu menerima Nasakom termasuk ABRI. Ya, siapa yang berani menentang Bung Karno waktu itu?

    Menanggapi hal ini Kyai Wahab berjiwa besar dan menanggapi dengan tertawa enteng. “Ha..ha..ha.. Ya biarkan saja,” katanya. “Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding dengan ejekan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila,” katanya.

    Yang jelas, hampir sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kyai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali Muktamar NU.
    Saat sakit dan menjelang wafatnya, Kyai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa ikut memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu dikabulkan Tuhan. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kyai kondang ini terpilih sebagai Rois ‘Am PB Syuriah NU. Empat hari kemudian setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil Tuhan. Dia wafat di rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang pada 29 Desember 1971.

    Dalam khutbah iftitahnya yang terakhir sebagai Rois ‘Am, Kyai Wahab masih sempat berharap, “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya di dalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT, sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal saleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama’ah.”

    Diingkatkan pula agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926. Dan sekarang ini NU telah kembali ke khittah 1926. Mengikuti harapan Kyai Wahab.

    Ulama Ulama Besar Pembela Islam

     
    SYEKH NAWAWI BANTEN
     
     
    Syekh Nawawi Banten (1230-1314 H/1813-1897 M) alias Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani Asy-Syafi’i adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M).

    Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon). Istrinya yang pertama bernama Nasimah, juga lahir di Tanara. Darinya, Syekh Nawawi dikaruniai tiga putri, Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah. Istrinya yang kedua, Hamdanah, memberinya satu putri: Zuhrah. Konon, Hamdanah yang baru berusia berlasan tahun dinikahi sang kiai pada saat usianya kian mendekati seabad. Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

    Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.

    Penulis Multi DimensiJejak Syekh Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini, benar-benar pantas menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara. Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (King Maker) militansi muslim terhadap Belanda penjajah.

    Sebagai pengarang yang paling produktif, Kiai Nawawai Banten punya pengaruh besar di dikalangan sesama orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya. Tak kurang dari orientalis Dr. C. Snouck Hurgronje memujinya sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Ia menerbitkan lebih dari 38 kitab. Sumber lain mengatakan lebih dari 100 kitab.

    Ia menulis kitab dalam hampir setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dari pengarang Indonesia sebelumnya, ia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang telah digunakan di pesantren serta menjelaskan, melengkapi, dan terkadang mengkoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.

    Sejumlah syarah-nya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (ia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar dan 11 kitabnya yang paling banyak digunakan di pesantren. Syekh Nawawi Banten berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Ia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya dan memperkayanya dengan menulis karya baru berdasarkan kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kyai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka.

    Bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, pun termasuk siswanya. Muridnya yang lain antara lain, K.H. Hasyim Asy-ari, K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Raden Asnawi, dan K.H. Tubagus Asnawi.

    Karya-karya Monumentalnyabeberapa karya monumentalnya antara lain adalah Qathr al-Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-Samarqandi, yang di Jawa lebih dikenal sebagai Asmaraqandi. Bersama karya Ahmad Subki Pekalongan, Fath al-Mughits, yang merupakan terjemahan Jawa Ushul 6 Bis, Qathr al-Ghaits banyak dipakai dan menjadikan Ushul 6 Bis lebih terkenal.

    Ushul 6 Bis ialah karya tentang ushuluddin yang terdiri atas enam bab yang masing-masing dibuka dengan kata bismillah. Pada abad ke-19, Ushul 6 Bis merupakan kitab akidah pertama yang dipelajari di pesantren tingkat rendah Indonesia. Dua kitab lain yang diajarkan di tingkat yang sama ialah kitab fiqh at-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Syuja’ al-Isfahani dan Bidayah al-Hidayah, ringkasan Ihya karya al-Ghazali.

    Kitab Madarij al-Su’ud Ila Ikhtisah al-Burud, yang berbahasa Arab dalam berbagai terbitan merupakan adaptasi Indonesia kitab karya Ja’far bin Hasan al-Barzinji tentang Maulid an-Nabi (‘Iqd al-Jawahir). Karya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj at-Thalibin dan komentarnya atas karya Khatib Syarbini, Mughni al-Muhtaj. Minhaj yang menjadi dasar utama semua teks juga dianggap sebagai sumber riil otoritas.

    Teks dasar dalam bidang akidah ialah Umm Al-Barahin (disebut juga Al-Durrah) karya Abu’Abdullah M. bin Yusuf al-Sanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan atas As-Sanusi ialah Kifayah al-‘Awwam karya Muhammad bin Muhammadal-Fadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.

    Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya, Taqiq al-Maqam ‘Ala Kifayah al’Awwam, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Nawawi Banten dalam karya yang banyak dibaca orang, Tijan ad-Durari.

    Tidak hanya itu, syekh Nawawi juga menulis kitab yang digunakan untuk anak-anak dan remaja. Kitab singkat berbentuk sajak bagi mereka yang berusia belia dan baru mengerti bahasa Arab, ‘Aqidah al-Awwam, ditulis oleh Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Makki yang giat kira-kira 1864. Syekh Nawawi menulis syarah yang terkenal atasnya, Nur Azh-Zhalam.

    Nasha’ih al-‘Ibad juga merupakan karya lain Syekh Nawawi. Kitab ini merupakan syarah atas karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, an-Nabahah ‘ala Isti’dad. Kitab ini memusatkan pembahasan atas adab berperilaku dan seiring dijadikan karya pengantar mengenal akhlak bagi santri yang lebih muda.

    Syekh Nawawi juga menulis syarah berbahasa Arab atas Bidayah al-Hidayah karya Abu Hamid al-Ghazali dengan judul Maraqi al-‘Ubudiyah yang lebih popular, jika dinilai dari jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang. ‘Uqd al-Lujain fi Huquqf az-Zaujain ialah karya Nawawi tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-‘Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin dari Pekalongan dan Su’ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani al-Qudusi.

    Tokoh Sufi Qodiriyah
    Syekh Nawawi juga dicatat sebagai tokoh sufi yang beraliran Qadiriyah, yang didasarkan pada ajaran Syaikh Abdul-Qadir al-Jailani (wafat 561 H/ 1166M). Sayang, hingga riwayat ini rampung ditulis, penulis belum mendapatkan bahan rujukan yang memuaskan tentang Syekh Nawawi Banten sebagai pengikut tarekat Qadiriyah ataukah tarekat gabungan Qadiriyah wa Naqshabandiyah.

    Padahal, pembacaan sejak lama kitab Manaqib Abdul Qadir pada kesempatan tertentu merupakan indikasi kuatnya tarekat ini di Banten. Bahkan, Hikayah Syeh, terjemahan salah satu versi Manaqib, Khulashah al-Mafakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh ‘Abd al-Qadir karangan ‘Afifuddin al-Yafi’i (wafat 1367M), sangat boleh jadi dikerjakan di Banten pada abad ke-17, mengingat gaya bahasanya yang sangat kuno. Lebih dari itu, pada pertengahan abad ke-18, Sultan Banten ‘Arif Zainul ‘Asyiqin, dalam segel resminya menggelari diri al-Qadiri.

    Seabad kemudian, mukminin dari Kalimantan di Makkah, Ahmad Khatib Sambas (wafat 1878), mengajarkan tarekat Qadiriyah yang digabungkan dengan Naqshabandiyah. Kedudukannya sebagai pemimpin tarekat digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Banten yang juga bermukim di Makkah. Di tangannya, tarekat gabungan ini berkembang pesat di Banten dan mempengaruhi meletusnya Geger Cilegon pada 1888 dan amalannya melahirkan debus.

    Begitulah, Syeikh Nawawi bin ‘Umar al-Bantani yang hidup kira-kira satu abad setelah ‘Abd as-Samad al-Falimbani disebut dalam isnad kitab tasawuf yang diterbitkan oleh ahli isnad kitab kuning Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad ‘Isa al-Fadani) sebagai mata rantai setelah ‘Abd as-Samad.

    Syekh Nawawi yang sangat produktif itu juga menulis kitab syarah, Salalim al-Fudhala’, atas teks pelajaran tasawuf praktis Hidayah al-Adzkiya’ (Ila Thariq al-Auliya’) karya Zain ad-Din al-Malibari yang ditulis dalam untaian sajak pada 914 H/ 1508-09 M. kitab ini popular di Jawa, misalnya disebutkan dalam Serat Centhini. Salalim dicetak di tepi Kifayah al-Ashfiya’ karya Sayyid Bakri bin M. Syaththa’ ad-Dimyati.

    Penyumbang Ilmu FiqhSyekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

    Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

    Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

    Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

    Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

    Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten.

    Ulama Ulama Besar Pembela Islam

    Kilas Sejarah
    SYAIKHONA KHOLIL Bangkalan

     

    Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
        Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

    Keresahan Kiai Hasyim

        Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
        Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
        Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

    Tongkat “Musa”

    “Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
    “Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
    Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
        Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
        Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
    S    esampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
        Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
        Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
        Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
        Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
        Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.
        Ya Qahhar dan Ya Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
        Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
        Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

    Bapak Spiritual

        Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
        Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).

    Ulama Ulama Besar Pembela Islam




    KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.

    Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
    Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KHMuhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad KHolil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
    Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Kh.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
    karena Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
    Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
    Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini. Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
    ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
    di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
    KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.




    By. Usman